Rajawalibaruna.com | Banda Aceh- Dunia saat ini berada di persimpangan jalan yang krusial. Ancaman krisis pangan global bukan lagi sekadar prediksi, melainkan realitas yang semakin nyata. Kenaikan harga pangan internasional yang signifikan, dipicu oleh berbagai faktor kompleks, telah menciptakan ketidakpastian yang meluas. Perubahan iklim ekstrem, dengan pola cuaca yang tidak menentu dan bencana alam yang semakin sering terjadi, telah mengganggu siklus pertanian di banyak negara, mengurangi hasil panen dan mengganggu rantai pasokan pangan. Ditambah lagi, kebijakan proteksionis beberapa negara pengekspor komoditas utama, seperti beras, telah memperburuk situasi dan menciptakan persaingan yang ketat di pasar global. Indonesia, dengan ketergantungannya pada impor beras sebagai penyangga utama pasokan, terutama rentan terhadap dampak krisis ini.

Di tengah tantangan global yang semakin kompleks ini, Provinsi Aceh, dengan visi yang jauh ke depan, telah mengambil langkah proaktif dan komprehensif untuk memperkuat ketahanan pangan daerah. Melalui Badan Standardisasi Instrumen Pertanian (BSIP) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2022, Aceh mengembangkan strategi terintegrasi yang tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tetapi juga pada peningkatan kesejahteraan petani dan keberlanjutan lingkungan.


Kepala BSIP Aceh, Bapak Firdaus S.P., M.Si, dalam wawancara mendalam yang baru-baru ini dilakukan, memaparkan secara detail strategi multi-sektoral yang tengah dijalankan. Beliau menekankan perlunya pendekatan holistik dan berkelanjutan yang melampaui sekadar intensifikasi pertanian. Intensifikasi, yaitu peningkatan produktivitas per unit lahan melalui penggunaan varietas unggul, penggunaan pupuk yang tepat dan efisien, serta pengendalian hama dan penyakit secara terpadu, memang penting, namun peningkatan hasil panen melalui intensifikasi saja diperkirakan hanya akan mencapai peningkatan sebesar 5 hingga 10 persen. Angka ini jelas tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perubahan pola konsumsi masyarakat.

“Kita tidak bisa hanya bergantung pada intensifikasi,” tegas Bapak Firdaus. “Itu seperti menambah kecepatan mobil, tetapi jika jalannya sempit, berlubang, dan penuh hambatan, kecepatan tersebut tidak akan banyak membantu. Kita perlu memperlebar ‘jalan’ menuju swasembada pangan dengan strategi ekstensifikasi yang terencana dan berkelanjutan, dibarengi dengan optimalisasi pengelolaan sumber daya yang ada secara efisien dan efektif.”

Salah satu program unggulan BSIP Aceh adalah optimalisasi lahan pertanian seluas 50.000 hektar. Program ini bukan sekadar menambah luas area tanam secara sembarangan, melainkan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah ada secara dramatis melalui pendekatan terpadu dan berkelanjutan. Fokus utama diarahkan pada perbaikan dan pengembangan infrastruktur irigasi yang memadai dan tahan lama. Banyak lahan pertanian di Aceh yang hanya dapat ditanami padi sekali setahun karena keterbatasan akses air, terutama selama musim kemarau. Program ini bertujuan untuk mengubah kondisi tersebut dengan memungkinkan penanaman padi hingga tiga kali dalam setahun melalui pembangunan dan rehabilitasi sistem irigasi yang efisien, tahan terhadap perubahan iklim, dan ramah lingkungan. Ini mencakup pembangunan bendungan kecil, sistem irigasi tetes, dan pemanfaatan sumber air alternatif seperti air tanah dan air hujan.

“Bayangkan potensi yang luar biasa,” lanjut Bapak Firdaus. “Lahan yang sebelumnya hanya menghasilkan 5 ton gabah per tahun, potensial menghasilkan 15 ton jika kita bisa menanam tiga kali setahun dengan manajemen yang tepat dan teknologi yang sesuai. Itulah lompatan produktivitas yang kita targetkan, dan ini akan berdampak signifikan terhadap pendapatan petani dan ketahanan pangan Aceh. Lebih dari itu, peningkatan pendapatan petani akan mendorong peningkatan kesejahteraan dan mengurangi angka kemiskinan di pedesaan.”

Untuk mencapai target ambisius ini, BSIP Aceh tidak hanya memberikan bantuan berupa pompa air, sumur bor, dan perbaikan sistem saluran irigasi kepada para petani. Lebih dari itu, program ini juga mencakup pelatihan dan pendampingan teknis yang intensif dan berkelanjutan, pemberian bantuan benih padi unggul bersertifikat dan berkualitas tinggi, serta sosialisasi teknologi budidaya padi yang tepat guna, efisien, dan ramah lingkungan. Teknologi pertanian modern, seperti penggunaan drone untuk penyemprotan pestisida dan pemantauan lahan, juga diintegrasikan ke dalam program ini. Selain itu, upaya untuk memanfaatkan lahan tidur, yaitu lahan pertanian yang tidak produktif, juga digalakkan melalui program pemberdayaan masyarakat dan penyediaan akses kredit permodalan yang terjangkau dan mudah diakses oleh petani kecil. Target yang sangat ambisius, yaitu penanaman padi seluas 1 juta hektar per bulan, ditetapkan sebagai tolok ukur keberhasilan program ini, meskipun implementasinya akan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan kapasitas petani.

Namun, upaya ini tidak hanya dilakukan secara sektoral dan parsial. Keberhasilan program ini sangat bergantung pada kerjasama antar lembaga dan sektor yang sinergis dan terintegrasi. Kerjasama strategis dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menghasilkan program penanaman jagung di lahan-lahan yang bukan lahan pertanian tradisional, untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan mengurangi ketergantungan pada impor. Kerjasama dengan sektor swasta, khususnya perusahaan perkebunan sawit, juga dijajaki untuk memanfaatkan lahan di sekitar perkebunan yang potensial untuk ditanami padi, dengan pendekatan yang memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan dan tidak mengganggu ekosistem yang sudah ada. Hal ini dilakukan dengan perencanaan yang matang, melibatkan partisipasi aktif masyarakat setempat, dan memperhatikan aspek tata ruang wilayah.

Untuk mendukung petani dalam mengolah lahan yang lebih luas dan meningkatkan efisiensi, pemerintah juga menyediakan bantuan alat-alat pertanian modern, seperti combine harvester, traktor roda dua dan empat, dan peralatan pertanian lainnya yang sesuai dengan kondisi geografis Aceh. Program brigade pangan dibentuk untuk mengelola lahan-lahan kecil milik masyarakat secara kolektif, meningkatkan efisiensi, dan memastikan lahan diolah secara optimal. Setiap brigade pangan terdiri dari 15 orang per kelompok, dengan manajemen yang terstruktur dan berorientasi bisnis, sehingga dapat meningkatkan daya saing dan pendapatan petani. Program ini juga dilengkapi dengan sistem pemasaran hasil panen yang terintegrasi untuk menjamin harga jual yang stabil dan menguntungkan bagi petani, mencegah eksploitasi oleh tengkulak, dan memastikan akses pasar yang adil.

“Kita ingin mengubah paradigma,” Bapak Firdaus menjelaskan. “Lahan tidak boleh terlantar. Setiap jengkal tanah harus produktif. Dengan bantuan alat dan manajemen yang baik, serta dukungan pemerintah yang berkelanjutan, kita bisa meningkatkan produktivitas secara signifikan dan memberdayakan masyarakat. Ini bukan hanya tentang peningkatan produksi, tetapi juga tentang peningkatan kesejahteraan petani, pelestarian lingkungan, dan ketahanan pangan Aceh secara berkelanjutan.”

Program ini juga menekankan pentingnya pendampingan dan konsultasi intensif kepada petani. Penyuluh pertanian berperan penting dalam memberikan arahan teknis, membantu mengatasi kendala di lapangan, dan memastikan program berjalan efektif. Pemerintah berkomitmen untuk memberikan solusi atas setiap kendala yang dihadapi petani, mulai dari ketersediaan air, akses pupuk dan pestisida yang berkualitas dan terjangkau, hingga pemasaran hasil panen yang terjamin. Sistem monitoring dan evaluasi yang ketat juga diterapkan untuk memastikan efektivitas program dan melakukan penyesuaian jika diperlukan, berdasarkan data dan evaluasi lapangan yang objektif.

Upaya meningkatkan produksi padi di Aceh ini merupakan bagian integral dari strategi nasional untuk mencapai swasembada pangan. Keberhasilannya tidak hanya bergantung pada kerja keras pemerintah, tetapi juga pada partisipasi aktif masyarakat, komitmen para pemangku kepentingan, dan kerjasama yang erat antar lembaga dan sektor. Ancaman krisis pangan global menuntut langkah-langkah yang berani dan komprehensif, dan Aceh siap menghadapi tantangan ini dengan strategi yang terukur, terintegrasi, dan berkelanjutan, untuk memastikan ketahanan pangan bagi generasi mendatang. Program ini juga dirancang untuk meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim dan memastikan keberlanjutan pertanian di Aceh untuk jangka panjang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *